TRANSFORMASI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KLASIK TEORI KEKHILAFAHAN DARI GHAZALI KE IBNU TAIMIYYAH
A. Pengantar
Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah merupakan mujaddid besar pada jamannya. Sejarah telah mencatat disamping sebagai pemikir besar keduanya, juga melaksanakan jihad tidak hanya fikir, tetapi juga melaksanakan jihad fisik dengan ikut melawan serangan dari kalangan kafirin yang pada saat itu mengancam keberadaan masyarakat Islam.
Al-Ghazali pada zamanya dikenal dengan Hujjatul Islam, yang memberikan pembelaan dengan dalil yang kuat terhadap serangan-serangan pemikiran untuk merendahkan Islam. Kemampuan yang cemerlang untuk menguraikan dan menyusun dalil (hujjah) yang sangat tajam dan jitu menjadikan Ghazali menjadi ilmuwan yang terkemuka.[1]
Demikian pula Ibnu Taimiyyah, meskipun hari-harinya banyak dihabiskan di penjara seperti kata-katanya: "Kalau aku dipenjara aku bisa menyepi bersama Alloh, kalau aku diasingkan maka aku berhasil mengadakan perjalanan, dan kalau aku dibunuh aku berhasil mencapai syahadah".[2]
B. Kekhilafahan Dalam Sejarah Islam
Kekhilafahan dalam sejarah diawali dengan terbentuk-nya lembaga pemerintahan yang mengatur perikehidupan masyarakat setelah nabi Muhammad wafat. Lembaga kekhilafahan sendiri pernah disinyalir oleh nabi dalam ungkapan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yang memberikan rincian sifat kekhilafahan, dari khilafah yang seperti jaman nabi (khilafah 'ala minhajil nubuwah), khilafah Yang Menggigit, Khilafah Yang Sombong, Khilafah seperti jaman nabi.[3]
Sedangkan jika mau merujuk lebih dalam lagi, kekhilafahan bukan berangkat dari setelah jaman nabi Muhammad, bahkan lebih awal lagi ketika Adam dijadikan sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi istilah kekhilafahan dalam bentuk pemerintahan berawal dari khilafah Rasyidin. Khilafah Rasyidin sendiri berjalan dalam rentang waktu 29 tahun. Khalifah yang menjalankan roda pemerintahan, dari Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib. Kekhilafahan Rasyidin memegang dan menjalankan pemerintahan tetap di Madinah. Periode kekhilafahan pada rentang waktu ini mendapat sorotan dan pujian yang sangat mendalam dalam sejarah, sehingga kekhalifahan ini mendapat gelar Ar-Rasyidin (yang lurus). Bahkan pola pemerintahan inilah yang kemudian menjadi referensi utama pemikiran politik Islam.[4]
Kelurusan dari periode ini terutama karena tabiat para khalifah yang memegang pemerintahan dengan bijaksana. Prinsip pemerintahan Islam seperti keadilan, persamaan, bai'ah, musyawarah dan Quraisybenar-benar dijalankan dengan memadai. Khilafah Rasyidin inilah dalam batasan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dikenal dengan Khilafah 'ala Minhajil Nubuwah[5] dan dalam batasan lain Ibnu Khaldun juga memberikan pujian.
Kekhilafahan yang kedua --diawali ketika dengan terjadinya huru-hara-- lahir dengan bentuk dan formula yang baru. Pendiri kekhilafahan sendiri adalah Mu'awiyyah bin Abi Sofyan, kemenakan dari Utsman bin Affan. Mu'awiyyah sendiri sebelumnya menjadi Gubernur di Damaskus selama kepemimpinan khalifah Utsman, sehingga ketika Utsman wafat maka posisi Mu'awiyyah sebagai gubernur terancam, maka terjadilah manuver untuk menggoyang kepemimpinan Khalifah Ali bin Abu Thalib. Kematian Ali bin Abi Thalib memungkinkan Mu'wiyyah untuk menampilkan diri, apalagi dengan terbunuhnya anak Ali --Husein bin Ali-- dalam perang di padang Karbala, menjadikan posisi Mu'awiyyah semakin kuat.
Hal pertama yang dilakukan oleh khalifah Mu'awiyyah adalah melakukan perpindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Hal yang juga tak kalah pentingnya, Mu'awiyyah melakukan adopsi sistem pemerintahan dari Romawi maupun Persia untuk mendukung pemerintahannya. Jika dalam masalah pengangkatan pemimpin, dilakukan oleh Majlis Syuro yang akan memilih dari beberapa orang yang telah ditunjuk oleh khalifah sebelumnya, Muawiyyah memperkenalkan pemaknaan baru. Pemaknaan penunjukkan ini dilakukan langsung oleh Mu'awiyyah kepada putranya, dan Majlis Syuro dibuat untuk melegalisasikan.
Sehingga pada masa pemerintahan Mu'awiyyah lebih menampilkanpemerintahan dinasti dibandingkan dengan khalifah. Bai'ah sebagai sarana penerimaan kepada Khalifah juga dilakukan revisi, di mana bai'ah dilakukan oleh Ahlul hal wa al-aqdi yang ditunjuk oleh Mu'awiyyah sendiri untuk membai'ah putranya, tidak harus secara langsung rakyat membai'ah. Dalam batasan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, masa kekhilafahan Ummayah dikenal dengan periode kekhilafahan yang sombong. Sehingga dalam masa pemerintahan kekhalifahan kedua ini, sejarah menyebutnya dengan Kekhilafahan Ummayah (Keluarga Ummayah). Masa kekhalifahan Ummayah berjalan cukup lama, sekitar 90 tahun. Hal yang cukup monumental selama khilafah Ummayah adalah dalam hal perluasan wilayah dari Asia Selatan sampai Spanyol, mulai diperkenalkannya sistem mata uang, penggajian pegawai, diperkenalkannya Qadhi (hakim khusus) sebagai bidang yang tersendiri yang tidak di bawah kendali langsung khalifah. Meskipun demikian kekhilafahan Ummayah akhirnya runtuh digantikan oleh kekhilafahan Abbasiyah.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kemerosotan kekhilafahan Ummayah:
1. Pola suksesi yang bersifat senioritas, dan tidak jelas. Di mana pada akhirnya menyebabkan persaingan di antara keluarga istana.
2. Latar belakang berdirinya Ummayah adalah latar belakang konflik
3. Luas wilayah Ummayah yang menyebabkan persaingan antar wilayah
4. Lemahnya pemerintahan Ummayah karena moral khalifah yang suka bermewah-mewah, dan tidak mendapat dukungan ulama.
5. Munculnya kekuatan baru dari keturunan Abbas bin Munthalib, yang mendapat dukungan dari golongan Syi'ah dan Mawali yang dikecewakan oleh Ummayah.[6]
Setelah runtuhnya kekhalifahan Ummayah diganti dengan kekhalifahan Abbasiyyah. Kekhalifahan Abbasiyyah didirikan oleh Abdullah bin Saffah ibnu Muhammad ibnu Ali ibnu Abdullah bin Abbas. Pemerintahan khilafah Abbasiyah merupakan kekhilafahan yang paling lama mencapai 588 tahun. Sehubungan dengan kompleks dan beragamnya kekhilafahan Ummaya, para muarikh membagi kekhilafahan Ummayah dalam 3 periode:
1. Periode Pertama (750 M-847) disebut dengan pengaruh Persia
2. Periode Kedua (847 M-945 M) disebut dengan pengaruh Turki I
3. Periode Ketiga (945 M-1005 M) disebut dengan pengaruh Persia kedua
4. Periode Keempat (1005 M-1194M) disebut dengan pengaruh Turki kedua
5. Periode Kelima (1194 M-1258 M) disebut masa bebas dari pengaruh[7]
Abdullah bin Saffah dalam membangun kekhilafahan yang pertama kali adalah dengan memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus ke Baghdad. Khalifah Abasiyyah juga melestarikan pola pemerintahan dan suksesi pemerintah-an seperti kekhilafahan Ummayah, demikian pula dengan melakukan perlebaran kekuasaan.
Khilafah Abbasiyyah juga memperkenalkan depater-men baru yang dikenal dengan Wazir. Wazir berfungsi sebagai koordinator kelembagaan antar departemen, dan wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak (orang Persia). Hal yang menarik dalam kekhilafahan Abbasiyah adalah interprestasi tentang khalifah sebagai : Innama anaa sulthaan Alloh fi ardhlihi (Sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Di mana membuka terminologi baru, bahwa kekhalifahan bukanlah sebagai pengganti nabi, bukan mandat dari manusia tetapi merupakan mandat dari Alloh.
Penafsiran baru ini dilakukan semasa khalifah al-Makmun. Ternyata Abbasiyyah yang sangat luas tersebut mengalami proses sejarah berikutnya, yakni dengan kemunduran-kemundurannya bahkan sampai jatuhnya kekhilafahan Abbasiyyah. Hal-hal yang menyebabkan keruntuhan itu sendiri antara lain:
1. Luasnya kekuasaan Abbasiyyah, sementara tidak ter-jadinya kontrol dan komunikasi yang memadai.
2. Profesionalisme militer, yang menyebabkan ke-tergantungan khalifah pada militer yang sangat tinggi.
3. Tentara bayaran, sebagai tentara profesional meng-habiskan pembiayaan negara.
Sedangkan menurut Abu Hasan An-Nadwy secara spesifik menguraikan keruntuhan kekhilafahan Islam karena beberapa hal:
1. Penyerahkan kepemimpinan secara acak, yang menyebabkan persoalan kepemimpinan tidak diserahkan kepada ahlinya.
2. Jauhnya semangat agama dalam gelanggang politik
3. Sifat jahilnya para penguasa, dengan suka bermewah-mewah dan berfoya-foya. Masalah ini terekam dalam tulisan Al-Ashfahani dalam Al-Aghani dan Al-Jahidh dalam Khayawan.
4. Para Penguasa tidak memberikan contoh yang baik tentang Islam
5. Kurangnya perhatian pada ilmu praktek yang bermanfaat, di mana lebih menfokuskan pada kajian-kajian metafisika.
6. Timbulnya bid'ah dan kesesatan.[8]
Setelah keruntuhan 3 kekhilafahan besar, sebenar-nya masih terdapat beberapa kekhilafahan yang tersebar dari Mongol sampai Mesir bahkan kekhilafahan di Spanyol (Ummayah II). Dan Kekhilafahan yang mencapai abad ke-19 adalah kekhilafahan Turki Utsmani.
C. Legitimasi Kekhilafahan: Sejarah Atau Nash
Persoalan bentuk kekhilafahan (kepemimpinan) menjadi salah satu persoalan yang tak pernah tuntas. Akan tetapi tentang posisi kepemimpinan sebagai bagian dari kekhilafahan sendiri, dalam setiap mazhab baik Sunni, Syiah dan Sunni tidak ada perbedaan. Di mana kekhilafahan yang merujuk kepada kekhilafahan kenabian yang berusaha mewujudkan kemakmuran di dunia dan akherat. Mengenai masalah ini Ibnu Hazm memberikan komentar; semua penganut mazhab Ahlusunnah, Murji'ah, dan Khawarij sepakat tentang kewajiban mendirikan imamah dan umat wajib mematuhi imam yang adil, yaitu yang menengakkan hukum-hukum Alloh dan menerapkan syariat yang dibawa Rasululloh dengan sebaik-baiknya. Berbeda dengan madzab di atas, kelompok al-Najdat (pecahan dari Khawarij), mengata-kan bahwa, "rakyat tidak wajib mematuhi imam, kewajiban mereka hanya melaksanakan hak". Kelompok ini menjadi batal kesepakatannya disebabkan bertentangan dengan perintah dalam Qur'an: "Patuhlah pada Alloh dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu".[9]
Sedangkan persoalan yang mengemuka bukan kepada ada tidaknya kekhalifahan tetapi tentang spesifikasi kekhilafahan itu sendiri: 1) Apakah boleh ada dua khalifah ataukah harus satu khalifah dalam satu waktu 2) Persyaratan suku Quraisy 3) Kemestian bersihnya seorang khalifah dari perbuatan dosa 4) Apakah khalifah mesti dari keturunan Quraisy ataukah bolehkah dari keturunan lain.[10]
Jumhur ulama telah sepakat tentang kemestian adanya imam untuk menegakkan persatun dan mengatur ma-syarakat, mengusahakan berlakunya hudud, mengumpul-kan zakat dari orang kaya dan mendistribusikannya pada orang miskin, mempertahankan batas-batas wilayah, menyelesai-kan perkara dengan cara mengangkat hakim, menyatukan pendapat, melaksanakan syari'at dan menciptakan negara yang penuh dengan keberkatan yang dianjurkan Islam.
Untuk terciptanya sebuah kekhilafahan tersebut, jumhur ulama telah menetapkan empat syarat bagi seseorang yang akan diangkat menjadi khalifah;
1. Suku Quraisy
Dasar ini diambil dari hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
"Dalam masalah ini (kepemimpinan) manusia selalu menuruti suku Quraisy, yang Muslim mengikuti yang Muslim, dan yang kafir mengikuti yang kafir pula."
Sedangkan al-Bukhari meriwayatkan dari Mu'awiyyah bahwa ia mendengar nabi bersabda:
"Masalah ini (kekhalifahan) selalu berada di tangan suku Quraisy. Siapapun yang menentangnya, wajahnya akan ditampar oleh Alloh, selama suku Quraisy melaksanakan ajaran Islam."
Sehingga dalam perspektif sejarah, pemimpin yang tidak mempunyai nasab dari Quraisy tidak menggunakan gelar kekhalifahan tetapi dengan nisbah sultan.[11]
2. Adanya Bai'at
Pengangkatan khalifah ialah adanya pembai'atan yang dilakukan oleh ahlul hall wa al-aqdi (wakil rakyat). Di mana dapat dilakukan dengan kepatuhan dan ke-sukarelaan, khilafah Ummayah juga menerapkan bai'ah akan tetapi bai'ah yang dilakukan karena perintah penguasa dan timbul karena paksaan
3. Musyawarah
Proses pemilihan khalifah sendiri haruslah dengan jalan musyawarah. Hal ini pernah ditegaskan oleh Umar bin Khattab, "Barangsiapa membai'at seseorang tanpa dasar musyawarah, maka janganlah dilakukan pembai'atan terhadap dirinya dan terhadap orang yang membai'atnya".
4. Keadilan
Syarat keadilan yang mencakup semua bentuk keadilan, baik kepada dirinya, tidak memprioritaskan keluar-ganya, tidak mengutamakan orang yang disenangi, dan tidak menyingkirkan orang yang dibenci. (QS. 4:135).[12]
Persoalan yang kemudian mengemuka adalah tentang bentuknya kekhilafahan itu sendiri. Dalam perspektif sejarah, bentuk kekhilafahan adalah bentuk pemerintahan di mana terdapat satu khalifah (pemimpin), dengan satu otoritas dalam wilayah yang luas, melingkupi dan mengatasi bahasa dan bangsa. Sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah awal Islam.
Akan tetapi pada sisi yang lain, kekhilafahan menurut Hakim Javid Iqbal, bahwa Al-Quran tidak menentukan bentuknya secara jelas dan tegas bentuk cara hidup tertentu. Bahkan sepanjang menyangkut pelaksanaan hukum Islam, masyarakat Muslim bebas menciptakan model struktur konstitusional apapun yang dianggap cocok dengan situasi, selama berdasarkan prinsip musyawarah.[13]
Sehingga pemikiran ini cenderung melihat kekhi-lafahan adalah sebagai sebuah model untuk mencari cara pelaksanaan dan penegakkan syari'ah sebagai esensi kelembagaan negara. Bahkan Khalid Ibrahim Jindan mengatakan bahwa bentuk kekhilafahan dalam operasional sejarah adalah produk fuqaha.
Sedangkan bentuk kekhilafahan sendiri pada satu sisi telah menjadi jumhur ulama. Memang dalam khasanah yang lebih modern terdapat usaha untuk memberikan jalan tengah yang tidak keluar dari esensi bentuk khilafah klasik, sekaligus juga tidak meninggalkan semangat jaman, yakni dengan memberikan kategorisasi tentang bentuk kekhilafahan; Kekhalifahan Murni, Kekhalifahan Minus, dan Kekhilafah-an Plus.[14]
Rujukan ulama untuk menetapkan bentuk ke-khilafahan klasik sebagai bentuk yang otoritatif beranjak dari pemahaman nash Qur'an yang telah membicarakan tentang konsep kekhilafahan. Meskipun dalam pembicaraan nash merujuk secara umum bukan khusus pemerintahan akan tetapi terdapat dalam surah An-Nur 55 yang memberikan kemungkinan ijtihad :
Alloh telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman dari antara kamu dan orang-orang yang mengerjakan kebajikan bahwa Ia (Alloh) akan menjadikan mereka khalifah di muka bumi, sebagaimana Ia telah menjadikan khalifah pada orang-orang sebelum mereka, dan Alloh akan memantapkan bagi mereka itu agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan akan ditukar sesudah kekuatan mereka itu dengan keamanan. (QS. An-Nur 55).
Hal mana kemudian diperkuat dengan upaya untuk mengidentifikasi stuktur-struktur pendukung dengan memusatkan perhatian pada fungsi-funsi khalifah dan syarat-syarat yang mesti dipenuhinya, dan upaya tersebut didasarkan pada pesan-pesan pada ayat Quran dan rentang peristiwa sejarah Islam.[15]
[1] lihat dalam Yusuf Qardhawy, Al-Ghazali: Antara Pro dan Kontra, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, hal. 39. Lihat juga dalam Zainal Abidin Ahmad, Konsep Negara Bermoral Menurut Al-Ghazali, Jakarta, Bulan Bintang, 1979
[2]lihat dalam Ali Gharisah, Metode Pemikiran Politik Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1997 dan lihat dalam Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyyah Tentang Pemerintahan Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1995
[3] Lihat dalam Husein bin Muhsin bin Ali Jabir, Membentuk Jama'atul Muslimin, Jakarta, Gema Insani Press, 1991, hal. 89
[5] Lihat dalam Husein bin Muhsin, op.cit
[6] Lihat dalam Drs. Badri Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1993, hal. 48-49
[8] lihat secara mendalam dalam Abul Hasan Ali Al-Hasany An-Nadwy, Kerugian Dunia Karena Kemunduran Islam, Surabaya, Bina Ilmu,1984, hal. 164-170
[9] lihat dalam kutipan dari Abu Zahrah Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta, LOGOS, 1996, hal. 20-21
[10] lihat kembali ibid., hal. 22
[11]lihat dalam uraian ini dalam Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam Jilid 4, Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
[12] lihat Abu Zahrah Muhammad, op.cit, hal. 88-104
[13]lihat Hakim Javid Iqbal, "Konsep Negara Dalam Islam" dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Bandung. Mizan, 1995, hal. 57 dan 74
[15] lihat Kalid Ibrahim Jindan, op.cit. hal. 121
0 comments:
Post a Comment